Penjual Nasi Uduk Berani Libur Selama Bulan Ramadan

1 komentar
Menjadi penjual nasi uduk, bisa jadi bukanlah yang menarik bagi sebagian orang. Karena seperti yang kita tahu, nasi uduk bukanlah makanan yang baru. Ini menu yang sudah sangat merakyat dan mudah sekali menjumpai penjualnya di jalanan Indonesia.

Namun, ibu mertua saya yang seorang penjual nasi uduk, menunjukkan fakta yang berbeda. Beliau, baru menjadi penjual nasi uduk ketika pandemi datang. Ya, ketika pandemi ibu bertekad memulai usaha ini bersama dengan bapak mertua.

Pandemi membesar. Beliau menutup usaha yang bahkan belum dikenal banyak orang. Setelah pemerintah mulai memberikan kelonggaran kegiatan masyarakat, beliau kembali membangun usaha nasi uduknya di pinggir Taman Bangetayu, Kota Semarang.




Kini, usaha beliau sudah berjalan sekitar dua tahun dan menariknya, setiap bulan ramadan tidak ada nasi uduk yang dijual termasuk saat berbuka puasa. Ya. Sebulan penuh keduanya tidak berjualan. Bukan tanpa alasan, sebab keuntungan dari bulan-bulan sebelumnya sudah sangat cukup untuk kebutuhan beliau selama sebulan.

“Dari jualan nasi uduk, ibu bisa tiga beli motor bekas dan membantu kami membeli rumah”

Ini bukanlah tentang berapa nominal keuntungannya tapi bagaimana beliau bekerja keras setiap hari untuk memperbaiki kondisi ekonomi setelah badai pandemi menghantam dengan begitu keras.

Bapak ibu mertua tidak sendirian, karena di lokasi yang sama (Taman Bangetayu, Kota Semarang), para pedagang bersepakat membentuk satu paguyuban. Jadi, semua pedagang ini memang saling membantu satu sama lain.

Ibu mertua sering memberi kami berbagai macam sayuran atau bahan makan lainnya ketika datang berkunjung. Kata beliau “ini beli di teman di taman, jadi harganya murah. Kadang juga digratis, kan sudah sama-sama kenal. Kadang bapakmu juga kasih nasinya, barter gitu”

Menarik sekali. Mereka, para pedagang yang sedang merintis usaha ini bahu-membahu untuk membantu usaha masing-masing. Ibu pernah menerima pesanan nasi kotak, dan ayam yang digunakan adalah dari dagangan temannya di lokasi yang sama.

Termasuk juga tempe hingga kantong plastik yang digunakan untuk membungkus, semua beliau dapat dari temannya dengan membeli. Beliau tidak mau diberi secara cuma-cuma, karena tujuan semua pedagang adalah mendapatkan keuntungan untuk keluarganya.

Dari bapak ibu mertua aku belajar, bahwa untuk berperan dalam pembangunan bangsa, kadang bisa kita mulai dari hal sangat sederhana, yakni membeli dari pedagang kecil di pinggir jalan.

Ibu mertua bukanlah pedagang yang kaya raya, karena beliau juga mendapatkan bantuan dari pemerintah ketika pandemi datang. Bahkan, ketika mendapat bantuan sembako, beliau mengirim pesan “ini buat kamu saja, biar kita sama-sama punya beras”.

Sudahkah teman-teman berbelanja di pedagang kecil hari ini?
Nimas Achsani
Parenting, pernikahan, finansial dan gaya hidup

Related Posts

1 komentar

  1. Cerita ini sama dengan isi khotbah jumat dulu, Mbak. Jadi ada pedagang bubur. Tiap Ramadan, dia akan libur agar khusuk beribadah. Dan Memang, Insya Allah dari jualan 11 bulan, akan ada keuntungan yang bisa disisihkan untuk 1 bulan.
    Makanya sangat bagus sekali para pejual di Taman Bangetayu, Kota Semarang yang saling bahu membahu membantu. Dan saya pun merasakan saat teman membeli jajanan Kurcaci Pos. Tidak hanya melariskan tapi membuat semangat hehehe.

    BalasHapus

Posting Komentar